MAESTRO GENDANG FROM MAKASSAR
Enerjen. Enerjik dan jenaka, jika kita sekilas menaruh pandang selayang kepada sosok sang Maestro Gendang; Daeng Serang. Daeng Serang Dakko, namanya, dan telah memasuki umur 80 pada tahun ini. Meski berusia senja, namun seakan renta tak mampu rasuk ke dalam tubuhnya. Orang tua ini masih aktif untuk sesekali bepertunjukkan dan mengisi acara hajatan disekitar kediamannya. Ketika dipanggung, Daeng Serang akan membesarkan matanya, memantau seluruh audiens diberbagai sudut, dan mulai mengayunkan kayu pemukul. Pukul-pukulan pengantar akan ditabuh, dan siap membuat pikiran kita untuk menerka; gerakan-gerakan atraktif apa yang akan dilakukan oleh beliau selanjutnya. Sesekali Daeng menopang dagunya, memeluk gendang, menoleh kepada pengiring dan mengangguk-geleng seolah menikmati irama tahlilan diantara tabuhan yang semakin mengencang. Tepuk tangan akan mengguruh, bercampur dengan gelak tawa para penonton nan terhibur.
Daeng Serang menjadi seorang maestro setelah bergelut dengan dunia gendang semenjak usia belia, sembilan tahun. Ilmu perkara gendang ini diturunkan dari kakek dan ayahnya, Daeng Parincing. Masa-masa penjajahan Belanda Ia nikmati dengan mengamati ayahnya membuat, dan berlatih gendang. Yang pada masanya menjadi bagian dari salah seorang penggendang dari kalangan istana Gowa. Pada umur Daeng Serang yang sebegitu mudanya, Ia mulai meniti jalan hidup pilihannya; seorang penggendang. Ia berlatih, membuat kelompok, dan berkeliling desa untuk mengisi kegiatan adat dan berbagai macam acara hajatan dan sunatan.
Di Makassar, ada sebuah tarian yang sangat dikenal. Di masa lalu, ini menjadi sebuah tarian ritual. Pakarena, sebuah tarian yang dibawakan oleh 12 orang perempuan, tentunya diiringi gendang, dan dipentaskan diatas tanah. Kaki-kaki akan menghentak, dan tanah harus terus bersentuhan dengan telapak; kaki-kaki itu tidak boleh terangkat. “Perempuan itu kuat, kalau laki-laki itu lemah”, kata Daeng Serang. Begitulah pandangan adatnya, seirama dengan memposisikan peletakan gendang; kulit laki-laki di bagian atas, dan kulit perempuan di bagian bawah. Perempuan itu harus kuat, dan mampu menahan godaan. Semua gerakan badan harus dilekukkan, pandangan harus terus menunduk, dan lentikkan tangan tak boleh melewati kepala. “Jadi, musik itu (laki-laki) menganggu penari. Penari (perempuan) harus kuat menahan godaan apapun. Kalau lambat musik, agak cepat itu gerakan. Kalau cepat musik, jadi lambat tariannya”, lanjut Daeng Serang.
Permainan gendang di Makassar tidak hanya menampilkan musik, tapi suara dan laku fisik selama pertunjukkan. Yang melambangkan tipe ideal laki-laki: lincah, keras, dan bersemangat. Sementara para penari yang menciptakan gerakan, cara berdiri, dan berpakaian, sebagai tipe ideal perempuan di Makassar. Begitulah tafsiran R. Anderson Sutton, seorang profesor etnomusikologi dari University of Wisconsin-Madison di Amerika Serikat, dalam Pakkurru Sumage’: Musik, Tari, dan Politik Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Kini, dikediamannya Daeng Serang, Ia telah membuat sebuah padepokan. Ia menyebutnya Sanggar Alam, yang seolah menyepakati pandangan Aristoteles bahwa seni adalah karya yang berasal dari alam, kemudian dibuat lebih indah sesuai ide dari pencipta/seniman. Disana Ia menerima setiap orang yang datang untuk belajar bermain gendang. Terlebih dahulu, Ia telah menurunkan ilmunya kepada anak laki-lakinya. Siapa saja, kapan saja, asal Daeng Serang bisa, Ia akan mengajarinya. Tidak sampai disitu, Ia juga masih mau berkolaborasi dengan anak muda. Tiap hari, orang-orang kerumahnya tak henti-henti. Dilayani satu persatu, selama tidak berkesibukan. Dikesibukannya yang hanya membuat, memainkan, dan melatih gendang. Seolah semangat tabuhan gendang terpatri berapi-api didalam jiwanya. Dengan kata lain, Ia telah menyerahkan segenap dirinya untuk mendedikasikan dirinya kepada dunia permusikan, khususnya gendang. Terima kasih Daeng Serang, semoga berumur panjang.